Rabu, 27 Januari 2010

macam-macam cerita pendek

THE MOFFATTS DIARIES:
There's Something About Denise

by Effendy Wongso & Gita Nuari

CHAPTER X:
SAY'N I LOVE YOU

"Aku sendiri tidak kenal siapa itu Denise," komentar Bob setelah mendengar penjelasan Scott. "Bagaimana aku bisa menuduhnya?"
Scott mencoba memetik gitar barunya, dan memainkan intro lagu 'Frustration'.
"Aku sendiri tidak nyangka Denise adalah si pencuri gitar itu. Sama sekali jauh dari dugaanku," katanya antusias. "Bob, Denise itu cantik, tahu! Dia selalu memakai tanktop. Tadi pagi dia ber-tanktop biru. Kemarin tanktop-nya merah jambu. Dia juga bertato. Kupu-kupu. Memang tato lagi digandrungi cewek, kan? Rambutnya yang sebahu itu juga bagus."
"Kalau begitu," sela Mrs. Sheila menimbrung, "bagaimana bisa dia mencurinya? Kita tidak boleh menuduh orang sembarangan, Elvis!"
Scott mengeluh dan memandangi ibunya itu.
"Jangan dikelabui sama tampang, Mom. Kalau tidak, mengapa kalungnya ada di kamarku?! Pasti dia kerepotan mengambil dua gitarku, dan kalung peraknya terjatuh. Rasain!" Scott merasa menang. "Pada saat itu lantai enam sepi sekali. Dengan mengendap-endap Denise bisa masuk leluasa ke kamarku tanpa ada orang yang mendengar dan melihatnya. Dan setelah itu, Denise cuma butuh masuk lift yang juga selalu sepi. Lalu, turun satu lantai saja. Dia tinggal di lantai lima. Mudah, kan?"
"Ingat!" Dave ikutan bicara walau dia sibuk mencoba kibornya. "Ron dan Pak George si manajer hotel ngotot bilang tidak ada orang asing yang keluar, apalagi lalu-lalang keluar-masuk dari kamar masing-masing waktu itu. Kamu tidak punya bukti."
"Kalung perak itu bukti yang kuat sekali, Big D!" Scott ngotot, kepalanya menengok kanan kiri. "Kenapa sih, kalian membela dia?!"
Gedung konser yang berkapasitas lebih dari sepuluh ribu penonton itu jadi berisik tiba-tiba. Kira-kira sepuluh orang cewek datang dari arah depan ditemani seorang pria. Setelah mereka berjalan lebih dekat, keluarga funky itu baru 'ngeh' kalau pria adalah Pak George Stockdale sang manajer hotel.
"Pagi, Mrs. Sheila?" sapanya ramah. Suaranya yang pelan hampir tidak kedengaran karena ditelan suara ramai cewek-cewek itu.
"Senang bertemu Anda, Mr. George." Mrs. Sheila membalas dengan ramah pula.
Sementara itu anak-anak Moffatt rada kaget dengan hadirnya Pak George dan anak-anak cewek yang dibawanya itu.
"Ini...." Dia menunjuk ke arah cewek-cewek itu, dan salah satunya dikenali dengan baik oleh Scott. Denise Hillary! "Aku mengajak anak-anak ini. Mereka ingin sekali ketemu anak-anak Moffatt. Boleh, kan?"
Kendati masih bingung, Mrs. Sheila cuma mengangguk. Cewek-cewek menjerit dan suaranya menggema di seluruh gedung pertunjukan auditorium Harvard Square.
"Tentu saja boleh, Pak George. Asal...."
"Ya, ya. Kurasa aku tahu. Listen all of you girls! Coba untuk tidak berisik, ya? Santai saja."
"Okay, Mr. Stockdale!" kata mereka serempak. Mereka langsung menghampiri buruannya masing-masing dengan antusias.
Mrs. Sheila Moffatt cuma tersenyum.
"Siapa gadis-gadis itu, Pak George?" Mr. Frank Moffatt berbasa-basi, membuka pembicaraan.
"Hm... anak-anak yang menginap di hotel. Mereka suka menegurku dengan ramah dan menanyakan macam-macam. Yah, mereka ingin sekali bertemu dengan anak-anak. Aku mencoba membantu. Kenapa tidak?"
"Sayangnya mereka cuma punya waktu lima belas menit untuk melayani gadis-gadis itu. Kami harus ke Boston's Quincy Market untuk fans gathering. Aku kuatir waktunya sedikit sekali dan tidak cukup...," kata Mr. Frank berbaik hati3). Walaupun ini rada-rada KKN tapi yang penting bisa bikin bahagia orang dan dapat pahala, pikirnya.
"Ah, Pak Moffatt," Pak George tertawa. "Dalam lima belas menit mereka bisa lakukan macam-macam, kok. Seperti ah... Anda entertainer. Pasti lebih tahu." Tawanya bergema di gedung konser. "Permisi."
Mr. Frank dan Mrs. Sheila cuma mengangguk, lalu saling pandang.
"Pak George, ada yang harus kubicarakan." Mr. Frank menghentikan langkah sang manajer hotel.
"Ya?"
"Kami menemukan kalung perak di kamar Scott dan Bob. Kami menduga itu punya si pelaku pencurian," sambung Mr. Frank.
"Pencuri tolol. Bodoh sekali sampai kalungnya ketinggalan," komentar Pak George. "Kira-kira punya siapa, ya?"
"Ada namanya, kok. Siapa Mrs. Sheila?" tanya Mr. Frank kelupaan, menoleh ke arah istrinya.
"Denise Hillary," jawab Mrs. Sheila yakin.
"Ya, Denise Hillary. Seorang cewek. Aku akan menghubungi opsir-opsir itu nanti setelah fans gathering. Tapi kurasa itu kelamaan. Jadi bisakah Anda yang menghubungi mereka? Seorang kru akan membawa kalungnya bersama-sama Anda," jelas Mr. Frank.
Pak George mengangguk. "Tentu saja. Aku akan membantu Anda." Dijabatnya tangan Mr. Frank. "Semoga ini berakhir sampai di sini saja... maksudku semoga dia pelakunya, dan gitarnya Scott akan dapat segera ditemukan."
"Terima kasih, Pak George."
"Sama-sama, Pak Moffatt."
Di tempat yang sama, cewek-cewek itu berkerubung di sekitar anak-anak The Moffatts. Bob-lah yang paling kewalahan.
"Janji ya, tidak akan pernah memotong pendek rambutmu?" desak cewek berambut merah pada Bob. Bob tertawa manis sambil menandatangani sampul album mereka. "Ya baby, I will never. Tapi jika merapikan tidak apa-apa, kan?"
"Duke, aku mau cerita. Kami akan mendirikan sebuah fansclub The Moffatts," sambung cewek yang lain. "Tapi, kami bingung apa namanya nanti?"
"Di Boston sudah ada banyak 'The Moffatts fansclub'. Ada 'The Moffatts Boston Fan Club', ada 'Wild at Heart Girls'...."
"Ada Moffatt mania," sahut yang lain.
"Bagaimana menurutmu? Karena kami sangat tergila-gila pada kalian, kami akan menamakannya Moffatt very very mania mania mania... what do you think?"
Bob menahan gelinya. Tapi dia tertawa juga akhirnya.
"Kamu pernah bertengkar dengan Scott?"
"Tentu saja pernah. Juga dengan Clint dan Dave. Paling sering sih, dengan Clint. Jangan bilang-bilang, ya? Aku ada rahasia, nih." Bob berbisik.
Bagaikan disihir, cewek-cewek itu anteng dan diam mendengar Master Duke si Drummaster berceramah.
"Suaranya Clint pernah hilang gara-gara tersedak biji kacang. Yuck, itu tidak mungkin, kan? Impossible. Aku katakan saja, aku bakalan percaya suaranya hilang beneran alias menjadi bisu selamanya jika dia kesedak biji kedondong."
"Hua hua hua. Dia ngamuk, dong?" Cewek-cewek ABG itu tertawa dan bertanya antusias.
"Jelas. Dan, ada lagi satu. Clint juga alergi pada semua binatang piaraan. Suatu hari, dia menemukan kucing betina yang baru saja melahirkan di atas loteng dengan anak-anak kucingnya yang masih sekecil tikus. Dia hampir pingsan setelah lari terbirit-birit." Bob terbahak.
"Hua hua hua." Cewek-cewek ABG itu kembali terbahak-bahak.
Di lain tempat. Hebohnya sama saja!
"Jangan bilang-bilang, ya? Aku punya rahasia soal Bob."
Cewek-cewek pada merapat di sekitar Clint seperti kesedot vacum-cleaner.
"Suatu hari, aku menemukan kucing betina yang saja baru melahirkan di loteng lengkap dengan anak-anaknya yang mirip cecurut." Kali ini Clint yang berbisik.
"Kamu lari, Clint? Setahu kami, kamu kan alergi sama binatang piaraan," timpal cewek berbehel ungu.
"Tentu saja." Clint menjawab spontan. "Saat lari, Bob menertawaiku. Tawanya menggema di seluruh bagian loteng. Tahu-tahunya, si ibu kucing merasa tawa Bob bagai geledek dan mengganggu ketenteraman. Tahu apa yang dilakukan ibu kucing itu terhadap Bob? Bob dicakarnya! Kyaa ha ha...."
"Hahaha...." Cewek itu tertawa. "Kamu akan jadi anggota The Moffatts yang paling awet muda, Clint."
"Tiada hari tanpa tertawa bagimu, kan?" tanya cewek yang lain di sebelahnya.
"He-eh. Mau tahu joke favoritku? Sebenarnya ini bukan joke, tapi cerita favoritku," usul Clint.
Semuanya mengangguk antusias. Dan, lagi-lagi semakin merapat kayak perangko.
"About what?"
"My favourite actress."
"Nicole Kidman?" tebak yakin cewek yang mengaku bernama Natalie.
"Yup. Kalian pasti tahu Nicole bermain di 'The Peacemaker' bersama George Clooney. Sudah nonton?"
"I did," sahut tiga cewek.
"Ceritanya tentang misi penjinakan bom. Nicole sendiri jadi ahli nuklir, kan?" tanya cewek berbaju sackdress biru.
"Betul. Di belakang layar, George Clooney bilang sama Mimi Leder sang sutradara kalau dia ingin film itu tidak melulu soal bom. Bisa garing, dia pikir. Mr. Clooney pingin banget ada adegan kissing-an bersama Nicole. Doi benar-benar bernafsu. Tahu tidak apa yang dikatakan Nicole sebagai tanggapan? Dia bilang, enak aja! Apa pantas dia bilang begini di film: 'Peluk aku cium aku saat menjinakkan bom!'. Kyaa ha ha...."
"Hihihi...."
Di tempat Dave. Suasanaya tidak kalah heboh!
"Siapa sih, yang paling heboh di rumah?"
"Yang paling sering jejeritan di rumah? Tentu saja Scott. Dia hobi teriak-teriak. Makanya, dia dipilih untuk jejeritan di 'Crazy'," jawab Dave antusias. Dia sibuk menandatangani poster The Moffatts yang disodorkan seorang cewek. "Tapi sebenarnya Scott tidak selalu begitu. Dia akhir-akhir ini lebih kaleman. Memang dia selalu serius, kok. Aku bangga pada Scott. Dia orangnya sangat baik dan pengertian. Aku sayang sekali padanya, dan ingin meneladaninya. Dia selalu jaga wibawa."
"Uh, adik yang sangat berbakti," puji seorang cewek.
Dave tersenyum bangga. "Tapi malah jadi lucu. Kalau aku, Bob, dan Clint masih bisa tertawa keras-keras dan ngisengin orang lain; Scott malah memilih diam. Kayaknya dia selalu ingin jadi panutan yang baik. Aku kasihan sekali pada Elvis. Walau dia capek setelah konser, masih harus terus jaga wibawa. Padahal, aku ingin bilang supaya Scott jadi dirinya saja. Kalau mau usil, ketawa-ketiwi... ya lakukan saja. Scott payah...," urainya berpanjang-lebar.
"Uh, adik yang tidak berbakti," ledek semuanya berbalik dari memuji ke mencelanya.
Dave tertawa. Cewek-cewek ABG itu juga. Berisiknya bukan main.
"Aku baca di majalah, kamu paling pendiam ya, di antara The Moffatts?" Si Kacamata bertanya.
"Masa? Menurutmu bagaimana?" Dave balik bertanya.
"Kamu justru paling jutek," seru seorang cewek lalu tertawa keras. Tawa itu diikuti oleh yang lain.
"First kiss-mu umur lima tahun ya, Dave?"
"Eh, betul, tuh," jawab Dave pede.
"Bagimana rasanya?"
"I don't know."
"Mau tidak kamu menciumku sekarang?" tantang cewek berambut pirang kenes.
Dave cuma mesem-mesem.
Di tempat Scott.
"Scott, tahu tidak kalau kamu merupakan cowok terseksi yang pernah kujumpai?" komentar seorang gadis yang mengaku bernama Jade pada Scott. Diangsurkannya sebuah poster diri Scott untuk ditandatangani.
"Apa iya?" tanya Scott asal.
"Tentu saja," sambung yang lain. "Bahkan bahumu lebih mulus daripada bahuku, bahkan bahu orang termulus di dunia sekalipun."
Scott terkikik mendengar kalimat hiperbolis cewek itu.
"Aku selalu menunggu saat kamu membuka kausmu di setiap konser."
"Kenapa kamu selalu melakukannya, sih? Terus, kenapa hanya kamu? Kadang-kadang aku juga lihat semua cowok Moffatt bermain musik tanpa pakai kaus."
"Apa kamu tidak takut masuk angin?"
Scott berdehem dan menarik napas panjang dicecar bertubi-tubi pertanyaan. "Habis mau bagaimana lagi?" jawabnya. "Tahu tidak, aku tuh sudah terlalu berbaik hati. Aku paling toku dan selalu siap mengalah. Walaupun akhirnya jadi demam sehabis manggung. Aku rela."
"Hah? Apa iya acara buka baju itu harus?"
"Tentu. Aku harus membuka kaus yang kupakai dan melemparkannya ke penonton-di setiap konser! Image! Kaus itu merupakan sponsor dari kami, dan pada setiap konser aku harus memakainya lalu melemparkannya untuk promosi. Adik-adikku tidak ada yang mau melakukannya."
"Oh, my God. I love you more today, Scott. You're just so great, nice, cool, cute, and sexy!"
Cewek-cewek lainnya tertawa melihat tingkah Jade yang genit.
"Scott, kaus kuningmu ini buat aku saja, ya?" rengek Jade bermanja-manja. "Sebagai promosi The Moffatts."
Scott melongok ke badannya.
"Iya tuh," cewek-cewek lainnya ngompor-ngomporin. "Ayo, lepasin, dong! We want see your body!"
"Ayolah, Scott!" Jade menggoyang-goyang bahu Scott.
"Bener?!" tantang Scott bercanda. "Mumpung lagi gerah, nih."
Cewek-cewek nyaris histeris ketika Scott pura-pura hendak membuka kausnya.
"Datang saja deh, ke konser kami besok lusa. Jangan lupa, ya?" kata Scott akhirnya. Menurunkan kembali tangannya yang tadi mencekal kerah T-shirtnya.
"Yah, payah nih, Scott!"
"Elvis pelit, ih!"
Cewek-cewek pada lesu karena 'dikerjain'.
"Kalian sekarang tinggal di Los Angeles?" tanya seorang cewek.
"How do you know?" tanya Scott.
"Wawancara Radio BCEA," jawab mereka nyaris serempak.
"Yeah right. Setelah tur selesai, kami akan santai-santai di LA, di apartemen kami."
"Sekalian daftar jadi bintang film dong, Scotty," usul seorang cewek.
Scott tidak menjawab, dan cuma tertawa kecil.
"You'll be the next Brad Renfro."
"No, no, no!" protes semuanya menanggapi kalimat cewek pengusul tadi.
"Yah, mungkin kamu sama tampangnya dengan Brad, tapi jangan ikut kelakuannya yang minus, terjebak drugs gara-gara broken-home. Kamu tidak begitu, kan?" sambung Jade prihatin.
"You'll be the next Devon Sawa."
"No, Elijah Wood."
"Vincent Kartheiser."
"Leonardo DiCaprio."
"Ewan McGregor."
"Tom Hank."
"James Van Der Beek."
"Bruce Willis."
"Mel Gibson...."
"Roger Moore...."
"Sudah toku, tahu!"
Oh girls, shut up please! Scott ngedumel dalam hati.
"Hei, waktunya habis!" teriak Mr. Frank sambil bertepuk-tepuk tangan dengan keras.
"Tunggu sebentar!" teriak gadis ber-tanktop biru. Dia masih menunggu sampul albumnya ditandatangani Bob.
"Siapa namamu?" tanya Bob ramah.
"Denise. Denise Hillary."
Bob mendongak tiba-tiba karena terkejut. Pulpennya nyaris jatuh ke lantai. Denise si tersangka!
"Whats the matter, Duke?"
"Ah, tidak apa-apa," elak Bob secepat kereta api ekspres.
Bob sadar dirinya dapat mengundang kecurigaan Denise karena tersentak kaget seperti barusan. Makanya, diwajarkannya sikapnya sambil mengembangkan senyum. Sesaat dipandanginya saksama gadis cantik di hadapannya. She so beautiful! Kayaknya tidak mungkin cewek semanis Denise ini dapat mencuri gitar-gitar milik kakakku, batin Bob. Dan ketika Bob masih berperang batin, tiba-tiba sepasang tangan ramping Denise menjulur ke arah kepalanya. Dan alangkah kagetnya Duke ketika menyadari lehernya sudah diganduli sesuatu. Sebuah kalung etnik!
"Just for you," Denise mengembang senyumnya tepat saat mata Bob beradu dengan matanya.
"Terima kasih, Denise." Bob serasa masih tidak percaya.
"Sama-sama," balas Denise, masih menyunggingkan senyum gulanya.
"Hm, kamu suka kalung rupanya, ya? Apa kamu punya koleksi kalung kesayangan?" Bob memancing, iseng tapi mengena.
"Tidak. Aku benci kalung. Leherku jadi gatal karenanya. Satu-satunya kalungku merupakan kalung emas pemberian ibuku, dan tidak pernah kupakai sekali pun. Lagipula, jika aku memakainya aku akan ingat Mom yang sekarang entah di mana...."
Bob kembali tersentak kaget.
"Kenapa kamu tidak tahu di mana ibumu?" tanyanya, jelas berusaha mengalihkan perhatian.
"Dia bercerai dengan ayahku."
"I'm so sorry."
"It's okay."
"Tapi, kamu seharusnya memakai kalung itu. Satu-satunya kenangan dari ibu harus kita jaga baik-baik." Bob ngelantur, antara bingung dan kaget.
"Ah, I care not. Lagipula, kalung itu cuma tergeletak di kotak perhiasan di rumahku di Mineola, New York. Hei, kenapa kita diskusi soal kalung?" gelak Denise.
Hei, gadis itu mengaku tidak punya dan tidak suka memakai kalung. Tapi, dia memilikinya. Buktinya, kalung peraknya tercecer di kamar kami.
Hm, Denise membuka topengnya sendiri. Dia akan terperangkap omongannya sendiri!
Bob tersenyum setelah menyimpulkan praduga dalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar